OKI – Ketidaktahuan orang bahwa Palembang, (baca Sumatera Selatan), adalah daerah gajah membuat tim Puskass (Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan) melakukan kajian tentang gajah Palembang.
Kajian gajah Palembang dilakukan tim Puskass di daerah Air Sugihan, Kabupaten OKI selama tiga hari 8, 9 dan 10 Mei 2024. Tim Puskass terdiri dari Dedi Irwanto, Vebri Al-Lintani, Ali Goik, Kemas Panji, Dudy Oskandar dan Mang Dayat.
Pada hari pertama, tim terjun pada lima desa yang sering mengalami konflik dengan gajah yakni Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru dan Jadi Mulya. (8/10) Khususnya di Desa Bukit Batu tim peneliti melakukan berbagai wawancara dengan penduduk lokal. Wawancara ini untuk mengindentikasi keberadaan gajah, terutama akar konflik antara manusia dan gajah di sana.
“Kita merasakan adanya konflik ini. Yang utama habitat gajah diusik oleh manusia. Gajah memiliki jelajah edar yang bersifat siklus. Nah, berdasar pendapat masyarakat tadi. Wilayah edar gajah tidak sengaja diganggu. Sehingga gajah masuk dan terkadang mengamuk di pemukiman. Namun yang menarik. Jika dulu masyarakat mengalau gajah, cukup dengan kata-kata simbah ojo mlebuh niki rumah cucumu atau mbak tinggali makan untuk cucumu. Maka gajah akan segera pergi. Kalau sekarang untuk mengalau gajah. Harus dengan berbagai cara dan berganti strategi. Kalau bulan depan harus pakai tetabuan kaleng, bulan berikutnya perlu percon demikian seterus”, kata aktivis lingkungan, Ali Goik, Jumat (10/5).
Hal senada juga dilontarkan budayawan Vebri Al-Lintani. Vebri Al-Lintani merasakan dari pendapat masyarakat. Sebenarnya, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di Sumatera Selatan.
“Gajah itu hewan cerdas. Ia merasa terganggu kalau diusik. Tokoh Si Dasir dalam tradisi lisan Sumsel contohnya. Si Dasir mati karena mengusik gajah. Selain itu, dalam sejarah Raja Sriwijaya, Shih-ling-chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh. Artinya, sejak masa lampau gajah Palembang sudah mendukung kehidupan manusia di Sumatera Selatan. Bukan berkonflik. Jadi menurut saya jika ada konflik manusia dan gajah. Maka harus dicari solusi budayanya yang pas”, tutur budayawan, Vebri Al-Lintani.
Gajah oleh Tim Puskass. Yang acap menjadi persoalan di tengah pemukiman masyarakat Air Sugihan. Coba dicari akar masalahnya terlebih dahulu oleh Tim Puskass. Selama ini ada kesan di lapangan. Bahwa persoalan konflik gajah dan manusia. Terkesan saling lempar tangan penanganan.
Oleh sebabnya, tim Puskass melakukan kajian dengan mencari akar konfliknya sekaligus berbagai kearifan lokal tentang gajah. Sehingga dapat dilakukan saran-saran dalam penanganan gajah di sana.
“Sejak awal Maret kita telah mengumpulkan berbagai dokumentasi. Kemudian dilanjutkan dengan studi lapangan. Serta berbagai wawancara dengan ahli dan masyarakat awam tentang gajah. Kita akan mendokumenkan dan menarasikan tentang kehidupan gajah, baik secara lintasan waktu di masa lampau maupun di masa kini. Termasuk penanganan gajah dari waktu ke waktu. Khususnya gajah Palembang”, kata ketua Tim, Dedi Irwanto.
Jadi menurut Dedi Irwanto akan ada buku pengetahuan tentang gajah Palembang. Keberadaan buku seperti ini terbilang masih langka dalam khazana literarasi di Sumatera Selatan. Sehingga pengetahuan orang tentang gajah dirasakan mulai menurun.
“Selain itu, buku hasil kajian ini juga semacam upaya kita mengembalikan citra Sumatera Selatan. Sebagai tempat utama rumah gajah Sumatera. Selama ini, Lampung yang dikenal sebagai daerah gajah. Padahal gajah dari Lampung sebagian besar berasal dari Sumsel, terutama Air Sugihan sekitarnya. Yang digiring ke Lampung pada waktu Operasi Ghanesa”, pungkas sejarawan Kemas A. Panji.