LUBUKLINGGAU, MS – Puluhan masa yang tergabung dalam aliansi Serikat Petani Suku Anak Dalam Musi Rawas Utara (SPSADM) menggeruduk kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuklinggau. Untuk menuntut supaya Kejari Lubuklinggau mengembalikan tanah-tanah mereka yang telah dirampas oleh PT London Sumatra (Lonsum).
Massa aksi yang terdiri dari para ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak ini berkumpul di Kelurahan Jogo Boyo, kecamatan Lubuklinggau Utara II tepatnya dari rumah makan Simpang Raya. Kemudian berjalan kaki sepanjang tiga kilometer menuju kantor Kejari Lubuklinggau, Kelurahan Tapak Lebar, Kecamatan Lubuklinggau Barat II.
Mereka datang dengan wajah lusuh menggunakan pakaian ala kadarnya. Bahkan diantara para masa aksi banyak yang tidak menggunakan alas kaki. Selain itu mereka juga membawa sejumlah spanduk-spanduk dan karton-karton yang bertuliskan sejumlah tuntutan kepada Kejari Lubuklinggau.
Koordinator Aksi Al Hafiz saat menyampaikan orasi mengatakan, kedatangan para aktivis petani Suku Anak Dalam (SAD) masyarakat desa Tebing Tinggi yang di kejaksaan Lubuklinggau ini dalam rangka menuntut hak atas tanah ulayat seluas 1.400 hektare yang di kuasai oleh PT Lonsum sejak tahun 1955.
“Selama 22 tahun tak ada kontribusi bagi petani SAD saat ini. Bahkan tindakan-tindakan kekerasan dan ancaman penjara menjadi makanan sehari-sehari mereka saat ini,” ucapnya di depan seluruh masa yang hadir, Rabu (10/5/2017).
Menurut dia, ketika masyarakat meminta hak-hak kepada pihak perusahaan, PT Lonsum malah mengirimkan ratusan kaum tani dengan aparat negara kepengadilan dan penjara dengan berbagai macam tuduhan dalam bentuk kriminalisasi. Teror ini harus segera di hentikan karena merusak tatanan demokrasi saat ini.
Akibat tindakan itu, sebanyak 33 keluarga mereka juga ditahan, enam diantaranya adalah perempuan dan ada yang sedang hamil. Bahkan ketika berkas sudah dalam proses P 21 mereka tidak boleh di dampingi oleh penasehat hukum.
Sehingga menguatkan dugaan bahwa Kejari Lubuklinggau tidak profesional dan independen. Karena telah mengintimidasi dalam proses hukum SAD. Hal semacam ini merupakan cara-cara kolonial belanda.
“Kita mendesak Kejari Lubuklinggau membuat tim penyelidikan oknum jaksa antek-antek kapitalisme. Meminta penegak hukum menggunakan hati nurani dalam proses hukum aktivis SAD masyarakat desa tebing tinggi. Kembalikan tanah ulayat milik kami. Mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk memanggil PT lonsum,” ungkapnya.
Selain itu, mereka juga meminta supaya PT. Lonsum di adili untuk rakyat, meminta DPRD wajib mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Muratara untuk menghentikan PT. Lonsum. Meminta menghentikan kriminalisasi terhadap SAD desa Tebing Tinggi. Terakhir meminta keluarkan hak atas tanah milik SAD.
Sementara Anggota Komisi II DPRD Muratara, Devi Arianto yang juga ikut bersama massa menerangkan sebagai wakil rakyat sengaja datang mengawal supaya masyarakat yang datang tidak melakukan keributan. Karena apabila terjadi keributan maka yang akan dirugikan masyarakat sendiri.
“Permasalahan ini sudah terjadi sejak tahun 2001, hingga sekarang permasalahan ini belum selesai. Kami berusaha mengiring persoalan ini supaya terus berlanjut bukannya selesai disini saja. Tapi juga mengiring supaya permasalahan ini sampai kepada Bupati Muratara. Ini harus sama-sama di selesaikan,” ungkapnya.
Sementara Kajari Lubuklinggau, Zairida menuturkan jika aksi yang dilakukan oleh Serikat Petani Suku Anak Dalam Musi Rawas Utara (SPSADM) sebenarnya salah sasaran karena para masa aksi menuntut hak ulayat dan itu bukan hak mereka. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat adat. Itu tidak tau apakah benar itu masyarakat adat atau bukan. “Saya sudah koordinasi dengan kapolres masalah itu. Kalau memang benar ada yang mereka tuntut harusnya koordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda), bahkan mereka juga mengajukan gugatan ke BPN,” ungkapnya.
Sedangkan, terkait 33 orang ditahan dan ada enam orang perempuan yang di tahan itu masuk dalam ranah kriminal. Karena itu hak kepolisian melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus-kasus kriminal dan Kejari Lubuklinggau sudah menanganinya secara profesional.
“Kita sudah melaksanakan penuntutan dan kemarin di putus 4 bulan. Ketika di putus kita melakukan banding karena itu kewajiban kita, apalagi putusannya kurang dari setengah tuntutan kita jadi kita wajib banding. Kalau enggak pak Kasipidum bisa diperiksa oleh institusi. Rasa keadilan itu harus ditengah-tengah karena menyangkut pemerintah dan kepolisian,” pungkasnya. (dhiae)
