OLEH : RIAN HIDAYAT.S.IP (KETUA SCAPIM)
Media sosial sudah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat khususnya generasi milineal. Penggunaannya yang begitu massif bukan saja dimanfaatkan untuk kebutuhan sosial melainkan juga untuk kepentingan ekonomi, bisnis sampai pada kepentingan politik. Pemilihan kepala daaerah (pilkada) adalah salah satu moment politik dimana media sosial khusunya facebook dan whatsapp ataupun sejenisnya untuk kepentingan politik.
Tulisan ini membahas tentang fenomena penggunaan media sosial berbasis internet sebagai instrumen dalam komunikasi politik dalam kontestasi pemilukada Kabupaten Musi Rawas Utara serta efektifitas konten media sosial tersebut dalam membentuk pola perilaku politik generasi milineal. observasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil perkebangan terkini di media sosia facebook. pemilih pemula yang juga masih tergolong kepada kelompok generasi milineal.
Observasi ini menemukan bahwa media sosial beserta kontennya menjadi instrumen penting dalam membentuk pola perilaku politik generasi milineal. Peran itu antara lain ditunjukkan bahwa generasi milineal saat ini tidak bisa dilepaskan dari media sosial, konten media sosial memberikan pengetahuan politik tentang profil calon dalam kontentasi pemilu, konten media sosial memberikan pendidikan politik baik terkait dengan teknis pelaksanaan pemilu dan juga visi-misi para kandidat, serta, generasi milenial memiliki komunitas yang menjadi wadah untuk berdiskusi terkait konten media sosial itu, tapi sebaliknya media social bukan dijadikan strategi politi untuk pengembangan fikiran ide gagasan dalam menjawab persoalan yang ada melainkan hanya untuk ajang saling menjautuhkan satu sama lain.
Harapan dan sebuah pemahaman akan unsur kepemudaan ini menjadi bumerang untuk kalangan pemuda itu sendiri. sebab demi menjaga eksistensi sebuah terminology yang telah terbangun kepada khalayak banyak harus mampu dipertanggungjawabkan secara transparan. Suara sumbang mengenai kekritisan, inovatif, dan kreatifitas terhadap pemuda-pemudi seakan-akan kian menggemuruh kembali pada kalangan pemuda saat ini jika di korelasikan dengan permasalahan Negara.
Pemuda seakan tak mau tau dan tak akan pernah tau dengan permasalahatan bangsa ini. Pemuda yang menjadi harapan seakan tergilas dengan zaman dan terhanyut dengan sistem ketatanegaraan yang inkonsistensi. Keluarnyanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah seakan lebih menengelamkan jiwa kepemudaan yang identik dengan perubahan, kekritisan dan inovatifnya. Bahkan pemudah tidak mampuh menerjemahkan sebuah konsep pemerintahan yang ditawarkan oleh Undang-Undang ini, yang mana maksud dari adanya regulasi ini agar supaya mendekatkan lagi pelayanan pemerintah (government service) terhadap masyarakat sipil (civil society), walaupun sampai saat ini di sebagian besar daerah yang ada di Negara ini belum terimplementasi.
Pemahaman akan konsep dasar regulasi ini sering disalah artikulasi oleh kaum pemudah, tetapi dijadikan sebagai ajang untuk mencari sebuah keadikyasaan (power), baik melalu lembaga eksekutif maupun lembaga legislative.
Degan setiap permasalah Negara (Problem State) sebagai langkah konsolidasi politk, penguatan kapasitas politik, sampai pada tahapan memainkan isu-isu tersebut sebagai pencitraan politik pribadi. Secara implisit dapat digaris bawahi atau dapat diindikasikan bahwa peran pemuda dalam menjaga Negara kesatuan republic Indonesia yang salah satunya turut menjaga kestabilan politik Negara, telah terdevisit nilai (value) yang sesungguhnya, sehingga peran pemuda dalam mengola kestabilan politik daerah maupun nasional tidak lagi termanifestasikan, tapi mengalami serangan daripada konsep politik itu sendiri, hal ini Nampak dengan terjerumusnya kaum muda pas polarisasi konsep politik itu sendiri yang mengakibatkan kecenderungan pemudah saat ini tidak lagi mengedepankan kepentingan masyarakat banyak tapi terjerumus dengan keadaan ouportunis pragmatisme. Dinamika seperti inilah mengambarkan ralitas kepemudaan, yang tidak mampu mengakomodir setiap kepentingan (interess) banyak orang.
Hal ini menuntut peran lembaga organisasi kepemudaan juga yang seharusnya menjadi harapan sebagai wadah konsolidasi kekuatan (consolidation power), namun saat ini tidak lagi mampu mengakodir semua elemen pemuda yang ada. Kelembagaan tinggalah sebuah lembaga reunian atau perkumpulan pemuda. Tidak lagi sebagai wadah untuk merumuskan konsep kajian ilmiah sebagai bentuk solusi dari peran pemuda untuk setiap permasalahan. Dalam berabagai keadaan dan proses dinamika kepemudaan yang telah mengalami pergeseran paradigma serta terdevisitnya legitimasi dari masyrakat. Sudah sepantasnya ada sebuah rekonsiliasi kekuatan (reconciloiation power) generasi muda dalam bentuk formulasi konsep strategi. pertama, Strategi Perubahan (defensive strategy), yaitu strategi pengembangan pemuda yang kondisinya mempunyai banyak sekali kelemahan dan terus mendapatkan tekanan dari pihak luar. Strategi konsep ini dimaksudkan bahwa pemuda sudah seharunya menciptakan kajian konsep dari pemikirannya sendiri dan tidak terbatas hanya pada konklusi retorika. (*)

Komentar