oleh

Peraturan Yang Berubah Tentang PCR, Ada apa?

Mengingat kembali kebijakan soal tes Polymerase Chain Reaction atau PCR bagi penumpang pesawat yang berubah-ubah. Dari semula diizinkan menggunakan tes Rapid Antigen, lalu wajib PCR, kemudian berubah lagi jadi tidak wajib PCR.

Beberapa perubahan kebijakan yang diterapkan pemerintah dilansir dari harian tempo berikut rinciannyaSejak awal, pemerintah hanya mewajibkan penumpang pesawat di dalam Jawa Bali untuk menunjukkan hasil tes negatif Rapid Antigen. Lalu terbitlah Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021.

Penerbangan Jawa Bali kini diwajibkan semua penumpang mengantongi hasil tes PCR. “Berlaku sejak 24 Oktober 2021 dan sewaktu-waktu dapat diubah dan dilakukan perbaikan,” demikian bunyi surat tersebut, yang diteken oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Kemenhub, Novie Riyanto, pada 21 Oktober.Salah satu hal paling kentara dari SE 88 ini adalah masa berlaku dari tes PCR. Aturannya jelas yaitu PCR 2×24 jam.Aturan ini berlaku bagi tiga kelompok, yaitu penerbangan antar kota di dalam Jawa Bali, dari atau ke Jawa Bali, antar kota di dalam Jawa Bali, serta daerah di luar Jawa Bali yang berstatus PPKM level 3 dan 4.

Kemudian muncul kembali Surat Edaran Kementerian Perhubungan Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Covid-19.Dikutip dari dephub.go.id, penerbitan SE ini merujuk pada terbitnya Intruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 57 tahun 2021 dan SE Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 22 Tahun 2021. Pelaku perjalanan yang menggunakan transportasi udara atau pesawat tidak harus membawa hasil tes PCR tetapi bisa dengan tes Antigen.

Kejadian sebelum ini menjadi sorotan dikarenakan harga yang di nilai kemahalan, ditambah lagi pemerintah mewajibkan PCR wajib bagi penerbangan. Pada awal wabah, harga tes PCR dibanderol sekira Rp1,5-2,5 juta dan kini turun menjadi Rp300 ribu. “Jarak harganya jauh sekali. ‘Kan rasional ekonomi ya begitu. Jadi dengan mudah orang anggap ini adalah curi-mencuri, tinggal soal membuktikan jumlahnya berapa dan ke arah mana aliran itu menggunung,” ujar Rocky Gerung dalam media pikiran rakyat nasional. Menurut saya hal ini terdapat suatu keganjalan dengan turunnya harga PCR setelah melewati beberapa proses, dimana selisih harga yang cukup besar, hal ini menjadi tanya besar.

Dalam CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dituding ikut berbisnis dan mendulang keuntungan dari bisnis tes Polymerase Chain Reaction (PCR) selama pandemi Covid-19. Salah satu perusahaan distributor PCR yang disebut memiliki kaitan bisnis dengan Luhut adalah PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). PT. GSI ini terafiliasi dengannya yakni PT Toba Sejahtera Tbk (TOBA) dan PT. Toba Bumi Energi. Keuntungan yang didonasikan berasal dari hasil investasi sahamnya di PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Bisnis utama dari PT GSI memang menyediakan tes PCR dan swab antigen. Sebagai pemain besar, PT GSI bahkan bisa melakukan tes PCR sebanyak 5.000 tes per hari.

Hal ini membuat seolah PCR menjadi bisnis negara yang dimana terdapat orang dibalik bisnis ini untuk kepentingan pribadi. Jika memang benar yang dirugikan disini yakni rakyat. Rakyat sudah patuh dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kemudian rakyat juga secara tidak langsung diexploitasi oleh negara. Jika kita kaitkan dengan komunikasi yang efektif dalam suatu organisasi ini menjadi konsumsi yang tidak baik, seolah sudah menjadi konten settingan di media. Dari info mewajibkan PCR untuk seluruh transportasi, kemudian tarif PCR turun dengan banyaknya kontra dengan masyarat. PCR bukan lagi menjadi screening pendeteksi untuk virus covid-19 melainkan menjadi PCR untuk kebutuhan bisnis.

Sajian informasi yang ada di media membuat seolah tidak terjalin baik komunikasi vertikal, horizontal dan diagonal dalam komuniksasi organisasi. Seharusnya dilakukan komunikasi yang efektif di organisasi pemerintahan. Jika komunikasi efektifnya jalan maka sangat minim akan terjadinya informasi yang tidak semestinya dipublikasi. Serta konflik dalam dunia pemerintahan juga mejnjadi sesuatu yang biasa. Kasus ini juga menjadi seperti konflik dalam suatu organisasi, setiap organisasi pasti terdapat masalah yang dihadapi tinggallah bagaimana cara kita mengelola konflik tersebut agar mampu membuat exsistensinya. Seolah PCR menjadi perebutan pejabatan dalam melakukan proses bisnis.

Pemerintah seharusnya melakuakan koordinasi secara pribadi dengan unit/instansi terkait mengenai PCR. Meskipun nantinya terdapat konflik namun kita harus membuat konflik ini menjadi budaya komunikasinya. Jangan sampai pemerintah membuat aturan dan mereka sendirilah lagi yang akan mencabut peraturnnya. (penulis Iman Kurniawan, S.I.Kom Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Stisipol Candradimuka Palembang)

News Feed