LUBUKLINGGAU, MS – Kasus penembakan brutal yang dilakukan oknum polisi, Brigpol KE yang menyebabkan dua korban meninggal dunia yakni Surini (50) dan Indra Yani dan lima lainnya luka-luka terus menjadi sorotan. Namun dari hasil komunikasi yang dilakukan Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KONTRAS) kepada korban penembakan dilakukan oknum polisi saat mobil sudah diposisi berhenti. Artinya apa yang dikatakan jajaran polisi berbeda dengan kenyataan dilapangan.
“Kamis (27/4/2017) saya bertemu dengan korban maupun keluarga almarhum. Ada beberapa fakta yang saya gali disana dan berdasarkan keterangan dari korban penembakan dilakukan saat mobil sudah berhenti, selain itu rentang waktu penembakan hanya seper sekian detik artinya dari peringatan sampai penembakan tidak ada jeda. Ini jelas sudah menyalahi aturan,” ujar Arif dari Kontras, Jumat (28/4/2017).
Tak hanya itu Arif juga menilai polisi tidak jujur memberikan informasi kepada keluarga korban dengan mengatakan kalau keluarga mengalami kecelakaan. Justru keluarga korban mengetahui kalau keluarga menjadi korban penembakan saat di rumah sakit.
Terlebih dari lokasi dilakukannya razia sampai lokasi penembakan berjarak lebih dari 3 km, tetapi penembakan dilakukan justru saat mobil sudah berhenti tentu hal ini jadi pertanyaan.
“Upaya dilakukan polisi harusnya tidak hanya dibebankan pada pelaku tetapi polisi harus menggali informasi lebih dalam apakah memang ada perintah untuk melakukan penembakan. Bila ada artinya yang memberi perintah juga harus diselidiki,” jelasnya.
Aksi brutal yang dilakukan oknum Brigpol KE Ditegaskan Arif polisi harus jeli dalam penggunaan pasal dan mengesampingkan pasal kelalaian tetapi lebih fokus ada unsur kesengajaan atau justru memang berencana.
“Polisi jangan buru-buru kenakan pasal kelalaian harus ada analisis dan uji, karena tidak menutup kemungkinan penembakan justru ada unsur kesengajaan. Aparat harus transfaran dan akuntabel dalam pengungkapan kasus ini, jangan hanya diawalnya saja yang cepat tetapi selanjutnya lamban. Polisi harus serius,” tambahnya.
Secara garis besar di Indonesia sendiri dari periode Januari 2017 sampai April ada 124 kasus penggunaan senjata api terjadi, dan paling banyak terjadi di Sumatera dan Sulawesi. Dari kasus tersebut 79 meninggal dunia dan 76 lainnya luka-luka, artinya peristiwa penembakan dilakukan polisi tidak hanya sekali namun berulang-ulang.
“Kejadian penembakan dilakukan oknum polisi sudah sering kali terjadi, harus ada audit standar penggunaan senpi agar saat digunakam tidak semena-mena, yang jadi pertanyaan di Lubuklinggau penggunaan senpi sudah sesuai stantar belum,” jelasnya.
Tak sebatas penggunaan senpi penggunaan proyektil dari kasus ini juga harus diuji apskah hanya dari satu senjata atau lebih, dan hasilnya harus disampaikan ke publik.
“Banyak kasus kekerasan dilakukan aparat di daerah-daerah. Untuk itu saya tantang bisa tidak polisi mengungkap kasus secara transparan,” jelasnya.(dhiae)