PALEMBANG – Pasca sejumlah aktivis kebudayaan di Palembang, mendiskusikan wacana adanya kampung Dulmuluk di Lorong Taman Bacaan, Tanggotakat (Tangga Takat) Palembang dalam diskusi Kampung Dulmuluk “ Mengulik Sejarah Kampung Dulmuluk” , Jumat (22/12) malam lalu di Taman Bacaan Tanggotakat , di 16 Ulu Palembang yang diselenggarakan UIN Raden Fatah, Pecinta Sejarah (PESE) Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang , Kobar 9 dan Bucu Palembang akhirnya terealisasi, Minggu (21/1) malam di Lorong Taman Bacaan, Tanggotakat (Tangga Takat) Palembang di gelar kesenian Dulmuluk yang di bawakan oleh Sanggar Dulmuluk Harapan Jaya dengan membawakan cerita berjudul Pulau Peranggi.
Masyarakat setempat terlihat sangat antusias mendengarkan rangkaian cerita yang disampaikan oleh para pemain, karena cerita yang dibawakan diwarnai dengan humor dengan diiringi musik orgen yang kiat menguatkan alur cerita, beberapa bahasa lokal yang jarang terdengar dipakai dalam dialog para pemain menambah semarak penonton yang menyaksikannya.
Apalagi lakon yang dibawakan para pemain mampu membuat gelak tawa penonton.
Para pemainnya terdiri dari Maliki, Dedi, Saleh , Jonhar, Lilis , Bob Ibrahim, Sani, Randi juga mampu bermain memukau sehingga para penonton tidak beranjak dari tempat duduknya.
Andi Pedo yang tinggal di Lorong Taman Bacaan mengaku kegiatan mala mini merupakan rangkaian dari tahapan menjadikan Lorong Taman Bacaan menjadi Kampung Dulmuluk .
“ Kemarin kita sudah diskusi , action next pak Jonhar sudah mengatakan akan memberikan pelatihan untuk sementara kita akan ajarkan anak-anak rumah Tahfizd dulu sementara, untuk Dulmuluk anak-anak,” kata sembari mengatakan latihan dulmuluk untuk anak-anak ini akan dilakukan secara terjadwal.
Menurutnya di Lorong Taman Bacaan ini ada jejak kampung Dulmuluk dan para pelaku dulmuuk mengaku tempat ini dulu banyak kegiatan dulmuluk.
Awalnya, kitab syair yang berjudul Kejayaan Kerajaan Raja Ali Haji dan kemudian berubah menjadi Abdul Muluk dicetak pertama kali di Singapura pada tahun 1845.
Lalu, pada 1854 dibawa oleh Wan Bakar ke Palembang dan dibacakan olehnya sebagai di bilangan kampung Tanggotakat. Lama kelamaan, pembacaan Dulmuluk berubah menjadi bentuk teater pada tahun 1910-an dan berkembang terus hingga sekarang.
Sementara itu, Andi Pedo yang tinggal di Lorong Taman Bacaan meyakini Wan Bakar tinggal di sekitar Lorong Taman Bacaan.
“Sepengetahuan saya, di sekitar lorong Taman Bacaan ini banyak sekali pelaku Dulmuluk diantaranya almarhum Umar, Wak Pet. Dan keluarga kami adalah pencinta teater Dulmuluk. Pada setiap hajatan, kami selalu menanggap Dulmuluk. Jika tidak, pasti masyarakat bertanya, mengapa tidak menanggap Dulmuluk”, kata Pedo.
Budayawan Palembang Vebri Al Lintani mendukung usulan Pedo tersebut karena Lorong Taman Bacaan yang dulu adalah kampung dulmuluk juga mendapatkan dukungan dari pelaku dulmuluk sendiri selain didukung oleh sejarah tentang naskah dulmuluk yang dibawa kesini oleh Wan Bakar.
“ Kita sudah mulai kemarin diskusi , ini tahapan kedua pementasan dulmuluk dan tahapan ketiga ada pelatihan-pelatihan dulmuluk,” katanya.
Sedangkan pemain dulmuluk senior Johar Saad lebih dikenal dengan nama Jonhar mendukung upaya pelestarian dulmuluk dan menghidupkan kembali kampong dulmuluk di Lorong Taman Bacaan.
“ Karena khan dalam sejarah itu dulmuluk berasal dari 16 Ulu Tanggotakat, sedangkan lorong taman bacaan ini asalnya ada dulmuluk dulunya, pemainnya lah meninggal galo disini, aku gabung dulmuluk disini tahun 1973 di 14 Ulu , di Sri Gunung,” katanya.
Menurutnya yang pertama kali membacakan naskah Dulmuluk adalah Wan Bakar namun salah satu orang Palembang bernama Wak Nanong tinggal 7 Ulu menonton dan mengingatkan apa yang dibacaan Wan Bakar sehingga Wak Nanong mengajarkan Dulmuluk .
“ Yang belajar Dulmuluk itu iyek kite iyek Kamaludin, Iyek Mesir lalu masuk jugo orangtuo dari Pak Ansori termasuk jugo uwong Lahat, Bangka Belitung belajar , nah tersiar Dulmuluk ini di Palembang dan Pemulutan , itu asalnya,” katanya.
Menurut Johar, secara umum struktur dan konsep pertunjukan Dulmuluk memiliki banyak kemiripan dengan teater tradisonal lainnya. Sebutlah seperti pertunjukan teater Bangsawan. Hanya saja, kata Johar, Dulmuluk mengangkat kisah dari syair karangan Raja Ali Haji yang berjudul “Sultan Abdul Muluk”.
(Namun, dalam sejumlah catatan sejarah disebutkan bahwa teks-teks syair Abdul Muluk sesungguhnya karangan penulis perempuan bernama Saleha, bukan karya Raja Ali Haji. Saleha adalah saudara perempuan Raja Ali Iba Raja Achmad Iba, Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fi Sabilillah. Ketika pertama kali teks syair Abdul Muluk diterbitkan pada 1847 diberijudul Kejayaan Kerajaan Melayu).
Mengenai pakem Dulmuluk, kata Johar, untuk kostum umumnya sama. Misalkan songket trompa Palembang yang dipakai panglima atau datu. Akan tetapi nilai dasarnya beragam. Begitu juga pada musik, yang pakemnya memiliki ympat tabuhan.
Alatnya menggunakan biola, gendang, beduk, bendi/gong. Tetapi sekarangalat musiknya sudahditambah piano, melodi, akordeon, gendang, drum, bas dengan nada diatonis untuk memenuhi permintaan pasar.