Oleh : Nunik Krisnawati, SE
(Aktivis Dakwah Musi Banyuasin)
Pemerintah berencana memberikan bantuan langsung tunai sebagai stimulus bagi karyawan swasta sebesar Rp600.000 per bulan karena dampak pandemi virus corona. Bantuan yang disebut Bantuan Subsidi Upah (BSU) itu akan diberikan kepada karyawan yang bergaji di bawah Rp5 juta (Kompas.com 12/8/2020).
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengatakan bahwa pemerintah akan membayarkan bantuan tersebut sebanyak dua kali pencairan dan akan diterima per dua bulan. Harapannya, daya beli dan konsumsi masyarakat tetap terjaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat.
Penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) ini diperuntukkan bagi pekerja yang aktif terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp150.000,00/bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp5 juta/bulan (detik.com 7/8/2020).
Kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah dalam menangani masalah ekonomi ditengah pandemi corona ini menuai berbagai kritik. Banyak kalangan merasa kebijakan ini salah sasaran. Salah satunya Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad. Dia mengatakan bahwa pemberian bantuan pada karyawan swasta tersebut berisiko kian meningkatkan kesenjangan masyarakat di akhir tahun. Bahkan tidak akan tepat sasaran dan tidak akan efektif dalam mendongkrak kinerja perekonomian (kompas.com 7/8/2020).
Sebab dengan ditentukannya syarat penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU), yaitu karyawan yang memiliki penghasilan di bawah Rp5 juta dan terdaftar aktif sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan justru akan menimbulkan persoalan baru. Banyak pekerja yang tergolong tidak mampu dan tidak tercacat aktif dalam data BPJS karena di-PHK, dirumahkan, habis kontrak atau bahkan karena tidak terdata oleh kementerian ketenagakerjaan dapat dipastikan tidak masuk kategori penerima BSU tersebut.
Jika kita lihat masyarakat dengan penghasilan mendekati Rp5 juta tidaklah termasuk kategori penduduk miskin, tapi karena terdaftar aktif di BPJS Ketenagakerjaan mereka bisa mendapatkan BSU tersebut. Sementara itu, penduduk yang masuk kategori miskin dengan penghasilan jauh dibawah Rp5 juta dan tidak terdaftar aktif di BPJS Ketenagakerjaan malah justru tidak menerima BLT tersebut. Keadaan ini sungguh ironi bukan?
Persyaratan yang ditetapkan pemerintah terlihat jelas menunjukkan sikap diskriminatif. Karyawan honorer yang telah mengabdi puluhan tahun karena tidak terdaftar sebagai peserta BPJS, tidak termasuk kategori penerima BSU. Jadi wajar jika terjadi kecemburuan sosial ditengah masyarakat. Sebab semua masyarakat terdampak ekonominya akibat wabah corona ini.
Hal ini menampakkan kegagalan sistem kapitalisme dalam mengurus rakyatnya. Rakyat dibuat kecewa berulang kali dan tidak diberikan solusi yang jelas dan nyata. Kesenjangan dan kecemburuan sosial kian ramai terjadi di tengah masyarakat. Kebijakan rezim bukannya untuk menyelesaikan masalah malah semakin membuat bingung rakyatnya.
Islam Solusi Permasalahan Rakyat
Islam adalah agama yang paripurna, memiliki aturan yang lengkap untuk menyelesaikan seluruh problem kehidupan, termasuk menangani masalah ekonomi ditengah pandemi. Dalam sistem Islam pemimpin adalah ra’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. Tugas ini mengharuskan pemimpin berupaya sunguh-sungguh, cepat dan tepat dalam menetapkan kebijakan dalam mengurus rakyatnya. Setiap kebijakan yang dibuat hanya demi kemaslahatan rakyat.
Dalam sistem Islam hak dasar individu dan hak publik umat betul-betul ada dalam jaminan Negara. Negaralah yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, sandang, pangan, juga papan. Dananya diambil dari kas pemasukan yang ditentukan syariat Islam, di antaranya zakat, infaq, ghanimah, kharajiyah dan jizyah. Kalaupun misalnya kas negara tak mencukupi, negara boleh memungut pajak dari para hartawan muslim, atau meminjam harta mereka. Saat bencana menimpa, maka mitigasi kebencanaan pun menjadi bagian tugas kepemimpinan. Negara akan bersegera melakukan berbagai upaya untuk mengurangi resiko dan memastikan kebutuhan dasar serta keselamatan rakyat tetap terjaga.
Contoh terbaik seorang pemimpin dalam mengurusi rakyatnya, bisa kita dapati pada diri seorang Khalifah Umar Bin Khattab ra. Pada saat krisis melanda Madinah, korban banyak berjatuhan. Jumlah orang miskin terus bertambah. Beliau pun memerintahkan menyembelih hewan ternak untuk dibagi-bagikan pada penduduk. Ketika tiba waktu makan, para petugas memilihkan untuk Umar bagian yang menjadi kegemarannya yaitu punuk dan hati unta. Tapi beliau menolaknya dan mengatakan bahwa seandainya dia memakan daging lezat itu dan meninggalkan tulang-tulang untuk rakyatnya, maka dia akan menjadi pemimpin yang paling buruk. Untuk makan siangnya dia hanya meminta roti dan minyak saja.
Ketika kelaparan mencapai puncaknya Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum badui itu melakukannya terlebih dahulu. Ketika melihat orang badui itu sangat menikmatinya. Dia pun bertanya “agaknya Anda tidak pernah merasakan lemak?” Badui pun menjawab “benar, saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang”. Mendengar itu, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Padahal saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.
Pun ketika beliau mendapati seorang Ibu dan anaknya kelaparan karena tidak memiliki bahan makanan, Umar Bin Khattab sendiri yang pergi mengambil bahan makanan. Beliau sendiri juga yang memanggulnya, mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya untuk anak-anak itu. Kisah ini menunjukkan bahwa penguasa adalah pengurus urusan rakyat yang bertanggung jawab secara penuh dalam menyejahterakan hidup masyarakatnya. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar/pokok yang secara kolektif wajib ditangani dengan cepat. Apalagi saat terjadi wabah virus mematikan seperti hari ini, peran penguasa sangat dibutuhkan. Penguasa tidak boleh abai. Negara harus memastikan tersedianya supply bahan makanan untuk seluruh rakyatnya. Penguasa harus memiliki sense of crisis.
Demikianlah sikap pemimpin dalam mengurusi rakyatnya. Memastikan bahwa kebijakan yang dibuat bisa dirasakan maslahatnya oleh seluruh rakyat. Dan itu hanya bisa terwujud dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bishshawwab
