oleh

Pengamat Politik: Koko Berpeluang Menang di Pilkada Prabumulih

PRABUMULIH, MS – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Prabumulih tahun 2018 ini masyarakat dihadapkan dua pilihan. Pertama pilih yang bergambar dan kedua pilih yang tidak bergambar (kolom kosong atau kotak kosong).

Hal itupun menimbulkan reaksi dari sejumlah kalangan, khususnya di wilayah kota Prabumulih yang memiliki calon tunggal dalam Pilkada Wali Kota dan Wakil Walikota Prabumulih yakni Ridho Yahya – Adriansyah Fikri. Gelombang pilih koko (kotak kosong, red) pun terus ramai, baik itu tokoh masyarakat dan masyarakat yang ingin perubahan khususnya di media sosial (medsos).

Fenomena melawan kotak kosong masih berpotensi tercipta di Pilkada Serentak 2018. Jurus ini memang terbilang ampuh untuk melenggang mulus ke kursi kepala dan wakil kepala daerah yang hanya dibutuhkan 50+1 persen dari suara sah untuk meraih kemenangan.

Menanggapi hal itu, seorang Pengamat Politik dan Dosen Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Adi Indra Chaniago SH MH menilai, perlu adanya pemahaman kepada masyarakat, bahwa mencoblos kotak kosong (koko) juga bagian dari pilihan.

“Meski sebetulnya kotak kosong juga bisa menang apabila pemilih lebih banyak yang mencoblos kotak kosong. Tapi umumnya masyarakat hanya memahami bahwa pasangan tunggal selalu menang,” ujarnya, kemarin (1/4/2018).

Menurut Adi Indra, pasangan Ridho-Fikri melawan koko merupakan bukti kelemahan pesta demokrasi pada umumnya di wilayah Sumsel khususnya di kota Prabumulih. Ia pun menyampaikan, jika pemahaman kotak kosong tidak disampaikan kepada masyarakat, hanya akan membuat masyatakat lebih buta akan demokrasi.

“Selama hal ini tidak pernah disampaikan, maka masyarakat hanya mencoblos gambar pasangan calon yang boleh jadi belum tentu ia harapkan kepemimpinannya di daerah,” terangnya.

Oleh karena itu, lanjut Adi Indra, agar hal ini jangan sampai masyarakat dilema dengan lemahnya demokrasi, masyarakat yang memiliki hak untuk memilih dan harus berhak tahu soal koko tersebut.

“Padahal tidak demikian kalau paslon tunggal itu bisa menang. Karena itu, KPU, akademisi, partai politik dan penggiat pilkada harus mensosialisasikan hal tersebut (pemahaman kotak kosong, red),” ungkapnya.

Ia pun menguraikan, ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan pilkada diikuti oleh calon tunggal. Pertama, tidak adanya calon penantang kuat yang mampu meyakinkan parpol atau menyiapkan sekoci di jalur independen.

“Dan kedua, figur yang memiliki sumber daya yang kuat punya kuasa untuk memborong parpol. ini juga bagian dari strategi untuk meraih kemenangan dengan mudah,” urainya.

Lebih lanjut Adi Indra menjelaskan, bahwa demokrasi itu merupakan bagian hak seseorang yang diatur Undang-undang dan Konstitusi RI. Bagi yang gagal paham tentang demokrasi bangsa ini harus belajar cerdas.

“Bangsa ini merupakan bangsa yang berdaulat untuk rakyat. Memilih atau dipilih merupakan hak rakyat, masyarakat bukan olokan dalam perbedaan antara cerdas dan gagal paham. Sayang debat kalau tidak paham tentang demokrasi namanya bukan orang hebat. Dan kedua, kontestasi calon tunggal bertentangan dengan demokrasi sesungguhnya di negara ini. Maka pilihan kotak kosong pilihan rakyat,” tukasnya seraya mengatakan harga mati bagi yang mengerti, yang tidak paham belajar lagi. (nor)

News Feed