oleh

Alasan Mengapa Tidak Boleh Mendendam Tetapi Memaafkan

Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
*Penulis Lepas Yogyakarta

Dalam perspektif ketetapan, segala sesuatunya telah menjadi ketentuan. Baik , buruk, nikmat, adzab dan lain sebagainya adalah takdir Allah. Namun bagaimana dengan perasaan jengkel, iri, serta berbagai kecenderungan lain yang kadang berlebihan? Serta kecenderungan untuk melakukan perbuatan sebut saja terkategori buruk? Hal ini menjadi di antara tema yang akan disinggung dalam artikel ini.

Dalam Qur’an Surat al-al-Balad terdapat sumpah Allah “demi bapak dan anaknya” (2), hingga kemudian pada Ayat 3 Allah berfirman “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” Mengingat Rasul memalui sabdanya, Shallahu alaihi wa sallam, kekuatan hubungan adalah terdapat antara anak dengan ibu dan dikatakan surga di bawah telapak kaki ibu. Namun redaksi di atas Allah berfirman dengan redaksi yang tidak ada unsur “mu’annats”-nya.

Artinya kepayahan yang dihadapi manusia adalah keniscayaan. Kehidupan penuh dengan berbagai kesulitan, baik berupa dalam menggapai harapan juga cobaan atasnya. Kesulitan dapat dipahami dalam kerangka-kerengka berupa kesulitan dalam, berpikir, berkata, juga perbuatan. Semua identik dengan kepayahan.

Belum lagi dugaan, prasangka dan sejenisnya tidak jarang serasa meemnuhi isi kepala, beberapa di antaranya mengganggu. Dalam hal ini Rasul mengajarkan do’a: “Allahumma la thoiro illa thoiruka wa laa khoiro illaa khoiruka.” Artinya: ya Allah tidak ada kesialan selain kesialanMu, dan tidak ada kebaikan selain kebaikanMu.” Al-Qahthani mengartikan do’a ini sebagai do’a menolak prasangka buruk.

Kesadaran ini penting diketahui dan dipahami agar kita tidak terbiasa senantiasa menyalahkan kondisi di luar kita, baik keluarga, pergaulan, atau semesta dengan berbagai penghuninya. Seorang Filsuf bernama Erich Fromm dan beberapa lainnya yang sefrekuensi berpandangan dengan menyeru sebut saja para pengikut atau pembaca karya mereka semuanya dengan untuk tidak menyusahkan atau merepotkan orang lain lantaran setiap orang dikatakan memiliki beban atau rasa sakit.

Inilah yang penulis sebut sebagai contoh dari yang diistilahkan dengan “bisikan” (lebih lanjut bisa liat ulasannya dalam artikel berjudul Kritik terhadap Eksistensi Bukan Esensi Wanita). Selain itu kita juga diajarkan Rasul untuk berlindung kepada Allah dari berbagai kemungkinan kita dalam posisi tersalah, yaitu:

“Allahumma inni a’udzubika min ‘adzaabi Jahannam, wa ‘adzaabil qobri, wa min fitnatil mahya wal mamaati wa min fitnatil masiihid-Dajjal.” Artinya: “ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari adzab Jahannam, dan adzab kubur, dan dari fitnah hidup dan mati dan dari fitnah al-Masiih Dajjal (si Raja Dusta).”

Ternyata kondisi objektif juga ada dan bisa didapat atau dialami dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tidak benar jika dikatakan bahwa zaman ini adalah sepenuhnya patologis dan tidak ditemukan lagi kenormalan. Zaman modern katanya adalah ketidaknormalan atau abnormal dengan indikasi hilangnya spontanitas dalam setiap perbuatan manusia.

Menurutnya normalitas semata menggunakan standar spontan, atau bahasa lainnya tidak spontan maka tidak normal. Padahal selain spontanitas, kehidupan dengan perencanaan masa depan misalnya juga dibutuhkan di antaranya dalam konteks pemahaman yang komprehensif dan holistik.

Maka menjadi rasional adalah ketika seseorang menjadi seutuhnya manusia. Ketidaknormalan justru sebaliknya yaitu berada pada apa yang penulis sadurkan menjadi istilah setengah dimensi artinya tidak sekedar hidup dalam satu dimensi yang disasar. Dalam kesempatan lain penulis menyebut pada artikel lain dengan sebutan “manusia setengah dimensi.”

Kembali kepada fokus ulasan perihal maaf. Maaf terhadap berbagai sebut saja perlakuan orang terhadap diri, sesungguhnya mengikatkan tali kebaikan kepada diri sendiri dalam memperlakukan orang. Memaafkan adalah baik maka memberi maaf sebagai keniscayaan kebaikan jua.

Jika saja konsep takdir tidak semata dihadirkan sebagai bahan atau materi debat yang betul dikatakan justru dapat menghasilkan kebingungan-kebingungan, maka dapat dipahami sisi hikmah berupa kelapangan dada dan kelenturan hati dalam menerima , menata dan menjalani apa yang menjadi ketetapan, atau apa yang dijadikan bagi kehidupan setiap orang di alam raya ini sebagai ketetapan, Allah tersebut!

News Feed